laman

Selasa, 31 Maret 2009

PERKEMBANGAN WISATA BALI

Perkembangan industri pariwisata Bali yang cenderung mengabaikan budaya dan merusak ekologi saat ini dirasakan mengusik adat istiadat masyarakat Bali. Masyarakat Bali berharap pariwisata Bali kembali ke sumbernya (wisata budaya), yaitu tradisi masyarakat yang hidup.

Demikian benang merah persoalan industri wisata Bali dari diskusi terbatas Kompas Biro Nusa Tenggara di Denpasar, Bali, 21 Maret, dan sejumlah informasi yang dihimpun dari sejumlah lokasi subak di Bali.

Diskusi bertema ”Harmoni Pariwisata–Pertanian Berbasis Subak” itu melibatkan panelis Nyoman Sutawan (peneliti/pakar subak), Nyoman Norken (pakar sumber daya air dari Fakultas Teknik Universitas Udayana), Kepala Dinas Pariwisata Bali Gede Nurjaya, Bagus Sudibya (pelaku pariwisata), dan Ketut Suamba MP (petani, tokoh Subak Lodtunduh, Ubud). Diskusi dipandu Wayan Windia (pakar subak dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana).

Para panelis mengakui, Bali memiliki peninggalan budaya unik subak, sebuah lembaga pengolahan sawah secara tradisional yang bertali-temali dengan tradisi serta ritual keagamaan.

Namun, keberadaan subak beserta ritualnya kini terganggu. Gangguan itu berupa penggerusan lahan subak yang beralih fungsi menjadi hotel, homestay, dan akomodasi industri wisata.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Bali, Senin, areal sawah di Bali tahun 2005 seluas 81.210 hektar (ha). Tahun berikutnya (2006) berkurang menjadi 80.997 ha, tetapi naik lagi menjadi 81.144 ha tahun 2007 dari pencetakan sawah baru. Keseluruhan areal sawah itu dikelola 1.646 subak.

Sedangkan berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bali tahun 2000, Bali hingga tahun 1999 memiliki areal sawah 87.850 ha. Ini berarti sawah di Bali tiap tahun menyusut sekitar 750 ha.

Khusus di Denpasar tercatat dua subak yang semua lahan sawahnya telah punah tahun 1960-an dan 1980-an. Satu di antaranya adalah Subak Kereneng di Desa Adat Pagan. Sawah subak sekitar 70 hektar hingga 1960-an semuanya berubah fungsi menjadi Gedung Olahraga Ngurah Rai, perkantoran Bank Indonesia, sejumlah kantor pemerintah provinsi, DPRD Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Pasar Kereneng, dan lainnya. Yang tersisa sebuah pura, dengan nama berubah dari Ulunsui (pura khusus subak) menjadi Taman Sari (pura jagat untuk umum).

Sutawan dan Windia menguraikan, adat dan ritual keagamaan di lingkungan subak tetap terselenggara normal sejauh masih memiliki tiga elemen dasar, yaitu lahan sawah, ketersediaan air, dan pura. Saat ini makin banyak pemilik sawah yang bukan berasal dari komunitas adat setempat dan sawah yang dikonversi.

”Odalan di Pura Subak membutuhkan keterlibatan sedikitnya 150 anggota subak selama seminggu. Anggota subak tentu saja harus terlibat dalam upacara itu,” kata I Made Rudin (42), Ketua Subak Gede Sukawati.

Subak Gede Sukawati di Gianyar, sekitar 15 kilometer timur Denpasar, hingga 5-6 tahun lalu masih didukung areal sawah seluas 800 ha. ”Saat ini areal sawahnya tinggal 650-an ha. Sebanyak 150 ha lahan sudah berubah menjadi toko, vila, perumahan, dan lainnya,” tuturnya. Ia juga melihat, sebagian kecil pemilik sawah Subak Gede Sukawati kini bukan pendukung tradisi masyarakat setempat.

Di pihak lain, pertumbuhan jumlah hotel di Bali tidak tercatat lagi. Penyebabnya, pemerintah kabupaten mengejar pendapatan asli daerah, sejalan dengan era otonomi yang marak. ”Sebagai Kepala Dinas Pariwisata Bali, secara jujur saya mengaku tidak tahu lagi persis jumlah hotel. Mereka tidak melapor lagi,” kata Gede Nurjaya.

Nurjaya mengutip konsultan pariwisata asal Perancis, Sceto, yang tahun 1971 telah merekomendasikan kamar hotel berbintang di Bali cukup 24.000 kamar. Namun, saat ini diperkirakan jumlahnya 50.000 kamar, dua kali lipat di atas ambang batas. Akibatnya, harga kamar jatuh.

Data Bali Dalam Angka (2008) menunjukkan, Bali hingga tahun 2007 memiliki 145 hotel berbintang berkapasitas 18.945 kamar. Hotel itu terbanyak berada di Badung (87), Denpasar (24), Gianyar (14), Buleleng (10), dan Karangasem (6). Empat lainnya masing-masing 2 di Tabanan dan Klungkung. Dua kabupaten lainnya, Bangli dan Jembrana, belum memiliki hotel berbintang.

Pariwisata budaya

Pengambil kebijakan di Bali tahun 1970-an telah menetapkan arah perkembangan pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya. Namun, dalam perjalanannya, industri wisata Bali dinilai kebablasan karena semua hal mau dimasukkan ke Bali.

Para panelis menilai, kehadiran obyek wisata seperti Taman Safari Bali dengan satwa gajah, harimau, dan lainnya, demikian pula lapangan golf berkelas dunia, sebenarnya justru membuat Bali kehilangan keunikan. ”Kalau mau lihat gajah, seharusnya ke Sumatera saja,” kata Sutawan.

Taman Safari di Gianyar dibuka pada Oktober 2007, dibangun sebagai obyek wisata alam dengan koleksi 400 satwa langka dari 80 spesies dalam areal 40 ha. Bahkan, jumlah gajah yang mencapai 30 ekor menjadi masalah.

Manajer Pemasaran Bali Marine Safari Park (BMSP) Rei Satria, secara terpisah, mengatakan, pemindahan semua gajah dari Jawa ke BMSP telah memenuhi ketentuan dinas peternakan dan balai konservasi sumber daya alam setempat. Ia menjamin tidak ada masalah dengan ketersediaan pakan karena melibatkan desa adat untuk memasok pakan.

Masalah serius lain adalah kekeringan areal sawah Subak Lodtunduh dan Subak Bija di Ubud, Gianyar, karena Sungai Ayung ditutup dan airnya dialihkan untuk olahraga arung jeram oleh Mega Rafting dan usaha sejenis lainnya. Padahal, Bendungan Kedewatan adalah sumber irigasi bagi 33 unit subak yang meliputi areal sawah 3.300 ha. Inilah masalah yang dikeluhkan Ketut Suamba dan warga Desa Lodtunduh pemilik subak.

Kadek Sudika (34) dari Mega Rafting di Sobek mengakui, akibat kegiatan arung jeram lintas 2 di Sungai Ayung, aliran air ditutup setiap hari Kamis. ”Sering pula pada hari lain, bergantung tamu. Tapi, penutupan mulut bendungan sepengetahuan petugas bendungan,” katanya.

DILEMA PERANG ADAT MIMIKA

DI KABUPATEN Mimika, berdiam masyarakat asli dari tujuh suku. Tujuh suku tersebut terdiri dari Suku Amungme, Dani, Damal, Nduga, Moni dan Ekari, dan suku Kamoro. Suku Amungme dan Kamoro selama ini dikenal sebagai suku terbesar di Mimika.

Masyarakat ke enam suku yang mendiami daerah pegunungan memiliki kemiripan adat istiadat. Salah satu tradisi yang dipegang teguh secara utuh oleh warga enam suku ini adalah "perang adat" dan "pesta adat" atau kerap dikenal dengan sebutan "pesta bakar batu".

Lalu, apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perang adat? Menurut Markus Timang, seorang tokoh adat disana, perang adat dikenal oleh enam suku yang ada di Kabupaten Mimika, yakni suku Amungme, Dani, Damal, Nduga, Ekari dan Moni. Kata Timang, keenam suku ini memiliki ciri-ciri budaya yang hampir sama. "Memang suku Kamoro juga memiliki ciri khas budaya adat perang, tapi mungkin mereka agak berbeda dengan kami," katanya.

Perang adat merupakan perang besar yang terjadi pada suatu masyarakat adat tertentu. Perang adat pun memiliki aturan-aturan tertentu, yang diatur oleh adat dan berlaku secara turun-temurun. Perang adat, melibatkan pasukan perang yang jumlahnya bisa mencapai ribuan orang, dilakukan di suatu tempat yang telah disepakati antara kedua belah pihak.

Menurut salah satu sumber, bila salah satu pihak sudah mengangkat senjata untuk perang dan telah memakan korban, pihak yang menjadi korban harus menuntut balas. Sebab kalau tidak membalas, permasalahan yang dapat menyebabkan perang tersebut dianggab belum selesai dan dapat menimbulkan perang di kemudian hari.

Menurut versi Markus Timang, perang adat memiliki ciri-ciri antara lain yakni berperangnya menggunakan peralatan busur, anak panah, juga acara perang diwarnai dengan bakar batu dan makan bersama.

Wilayah atau tempat melakukan peperangan diatur berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang akan berperang. Menurut salah satu sumber, wilayah perang adat harus jauh dari wilayah pemukiman sipil. Apabila pada wilayah yang akan dijadikan tempat untuk berperang tersebut terdapat rumah atau bangunan yang ditempati oleh warga, rumah tersebut harus dikosongkan ketika perang berlangsung. Wilayah yang dijadikan tempat untuk berperang tersebut luasnya bisa beberapa kilo meter persegi.

Di wilayah tersebut hanya tentara dan orang-orang yang berkepentingan dengan perang yang diberikan ijin untuk masuk. Hal-hal di atas termasuk keunikan dari perang adat itu. Namun masih ada keunikan yang lain dari perang adat. Menurut Markus Timang, perang adat memiliki aturan dan batasan.

"Ada aturan yang diberlakukan di saat perang. Kaum laki-laki yang terlibat dalam perang harus mentaatinya," ujarnya. Contoh aturan secara tidak tertulis tetapi disepakati bersama itu adalah ketika perang berlangsung, kaum laki-laki yang terlibat dalam perang tidak boleh mengganggu perempuan dan anak-anak.

Aturan lainnya adalah, satu pihak tidak boleh melakukan perampasan harta benda yang dimiliki oleh lawan. Demikian pula, satu pihak tidak boleh mengganggu perempuan atau anak-anak dari keluarga lawannya.

Ketika perang berlangsung pun, ada tata aturan lainnya lagi. Yakni disepakati bahwa pada siang hari (jam makan) perang dihentikan untuk makan siang. Kemudian pada saat mau mulai perang lagi, maka akan diberikan tanda khusus yaitu bersiul atau meneriakkan "hura-hura" atau teriakan berupa lagu dengan menggunakan bahasa asli daerah suku tertentu.

Kemudian, ketika peserta pasukan perang sudah berkumpul di tempat yang sudah ditentukan, maka panglima perang mulai memberikan arahan. Di antaranya, kembali menegaskan mengenai lokasi perang, strategi menghadapi lawan dan hal-hal pantangan yang perlu diikuti oleh setiap anggota perang. Pantangan yang dimaksud di sini antara lain tidak mencuri, merokok, mengganggu anak atau istri lawan.

Yang menarik lagi, ternyata ada sosok yang masuk kategori pemimpin perang dan juga ada yang masuk kategori panglima perang. Menurut Markus Timang, seseorang yang bisa dikategorikan sebagai pemimpin perang adalah orang yang mampu mengendalikan keadaan, mampu memberikan petunjuk-petunjuk, serta memberikan informasi tentang perkembangan seputar perang yang berlangsung.

Sedangkan panglima perang adalah orang yang langsung berada di arena perang. Dimana ia dapat memberikan arahan, petunjuk mengendalikan situasi sesuai instruksi pemimpin perang.

"Hampir sama saja dengan petunjuk yang ada di tubuh TNI atau Polri. Kedua orang itu harus benar-benar bisa memberikan arahan, petunjuk dan strategi perang. Bicara yang tidak-tidak, tidak boleh. Harus bisa mengatur semua keperluan pasukan perang, seperti menyediakan makan. Lalu yang memberikan makan adalah istri, anak dari orang yang menjadi pemimpin perang," ulasnya.

Lebih lagi, seorang panglima perang harus orang pemberani, mampu memberi semangat dan bisa mensiasati perang dengan baik selama perang berlangsung.

Lalu, apa peran kepala suku suatu kelompok masyarakat? Di sini, kata Markus Timang, seorang kepala suku hanya bertugas sebagai penggerak massa. Dengan adanya pemimpin perang, panglima perang dan kepala suku tersebut, maka perang adat itu tidak bisa dilakukan sembarangan. Dalam perang adat, kaum perempuan dan anak-anak tidak dilibatkan.

Karena tidak dilibatkan, kaum perempuan dan anak tidak boleh berjalan sembarangan, sebab ditakutkan akan menjadi korban. Kaum perempuan bertugas mencari, memasak dan menyediakan makanan untuk kaum laki-laki yang sedang berperang. Waktunya makan, kaum perempuan harus mengantarkan makanan kepada para laki-laki yang perang di depan.

Tapi, kaum perempuan juga bisa bertugas untuk menyelidiki keadaan keamanan di wilayah tertentu yang akan dijadikan tempat untuk buang air kecil atau air besar oleh para laki-laki yang berperang. Apabila oleh perempuan sudah dinyatakan aman, di tempat tersebut tentara yang hendak membuang hajat tersebut diberikan ijin.

Salah satu sumber mengatakan, untuk Suku Amungme, perempuan juga bisa dijadikan sebagai mediator untuk menyampaikan informasi untuk damai dari kedua belah pihak yang berperang. Namun saat datang ke tempat musuh, perempuan yang menyampaikan informasi tersebut harus memiliki mimik marah dan tidak mau pegang tangan (jabat tangan).

Kemudian, tata aturan lainnya adalah kaum perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh. Orang lain yang tidak boleh dibunuh adalah orang yang sudah tua dan petugas kesehatan.