laman

Selasa, 31 Maret 2009

DILEMA PERANG ADAT MIMIKA

DI KABUPATEN Mimika, berdiam masyarakat asli dari tujuh suku. Tujuh suku tersebut terdiri dari Suku Amungme, Dani, Damal, Nduga, Moni dan Ekari, dan suku Kamoro. Suku Amungme dan Kamoro selama ini dikenal sebagai suku terbesar di Mimika.

Masyarakat ke enam suku yang mendiami daerah pegunungan memiliki kemiripan adat istiadat. Salah satu tradisi yang dipegang teguh secara utuh oleh warga enam suku ini adalah "perang adat" dan "pesta adat" atau kerap dikenal dengan sebutan "pesta bakar batu".

Lalu, apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perang adat? Menurut Markus Timang, seorang tokoh adat disana, perang adat dikenal oleh enam suku yang ada di Kabupaten Mimika, yakni suku Amungme, Dani, Damal, Nduga, Ekari dan Moni. Kata Timang, keenam suku ini memiliki ciri-ciri budaya yang hampir sama. "Memang suku Kamoro juga memiliki ciri khas budaya adat perang, tapi mungkin mereka agak berbeda dengan kami," katanya.

Perang adat merupakan perang besar yang terjadi pada suatu masyarakat adat tertentu. Perang adat pun memiliki aturan-aturan tertentu, yang diatur oleh adat dan berlaku secara turun-temurun. Perang adat, melibatkan pasukan perang yang jumlahnya bisa mencapai ribuan orang, dilakukan di suatu tempat yang telah disepakati antara kedua belah pihak.

Menurut salah satu sumber, bila salah satu pihak sudah mengangkat senjata untuk perang dan telah memakan korban, pihak yang menjadi korban harus menuntut balas. Sebab kalau tidak membalas, permasalahan yang dapat menyebabkan perang tersebut dianggab belum selesai dan dapat menimbulkan perang di kemudian hari.

Menurut versi Markus Timang, perang adat memiliki ciri-ciri antara lain yakni berperangnya menggunakan peralatan busur, anak panah, juga acara perang diwarnai dengan bakar batu dan makan bersama.

Wilayah atau tempat melakukan peperangan diatur berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang akan berperang. Menurut salah satu sumber, wilayah perang adat harus jauh dari wilayah pemukiman sipil. Apabila pada wilayah yang akan dijadikan tempat untuk berperang tersebut terdapat rumah atau bangunan yang ditempati oleh warga, rumah tersebut harus dikosongkan ketika perang berlangsung. Wilayah yang dijadikan tempat untuk berperang tersebut luasnya bisa beberapa kilo meter persegi.

Di wilayah tersebut hanya tentara dan orang-orang yang berkepentingan dengan perang yang diberikan ijin untuk masuk. Hal-hal di atas termasuk keunikan dari perang adat itu. Namun masih ada keunikan yang lain dari perang adat. Menurut Markus Timang, perang adat memiliki aturan dan batasan.

"Ada aturan yang diberlakukan di saat perang. Kaum laki-laki yang terlibat dalam perang harus mentaatinya," ujarnya. Contoh aturan secara tidak tertulis tetapi disepakati bersama itu adalah ketika perang berlangsung, kaum laki-laki yang terlibat dalam perang tidak boleh mengganggu perempuan dan anak-anak.

Aturan lainnya adalah, satu pihak tidak boleh melakukan perampasan harta benda yang dimiliki oleh lawan. Demikian pula, satu pihak tidak boleh mengganggu perempuan atau anak-anak dari keluarga lawannya.

Ketika perang berlangsung pun, ada tata aturan lainnya lagi. Yakni disepakati bahwa pada siang hari (jam makan) perang dihentikan untuk makan siang. Kemudian pada saat mau mulai perang lagi, maka akan diberikan tanda khusus yaitu bersiul atau meneriakkan "hura-hura" atau teriakan berupa lagu dengan menggunakan bahasa asli daerah suku tertentu.

Kemudian, ketika peserta pasukan perang sudah berkumpul di tempat yang sudah ditentukan, maka panglima perang mulai memberikan arahan. Di antaranya, kembali menegaskan mengenai lokasi perang, strategi menghadapi lawan dan hal-hal pantangan yang perlu diikuti oleh setiap anggota perang. Pantangan yang dimaksud di sini antara lain tidak mencuri, merokok, mengganggu anak atau istri lawan.

Yang menarik lagi, ternyata ada sosok yang masuk kategori pemimpin perang dan juga ada yang masuk kategori panglima perang. Menurut Markus Timang, seseorang yang bisa dikategorikan sebagai pemimpin perang adalah orang yang mampu mengendalikan keadaan, mampu memberikan petunjuk-petunjuk, serta memberikan informasi tentang perkembangan seputar perang yang berlangsung.

Sedangkan panglima perang adalah orang yang langsung berada di arena perang. Dimana ia dapat memberikan arahan, petunjuk mengendalikan situasi sesuai instruksi pemimpin perang.

"Hampir sama saja dengan petunjuk yang ada di tubuh TNI atau Polri. Kedua orang itu harus benar-benar bisa memberikan arahan, petunjuk dan strategi perang. Bicara yang tidak-tidak, tidak boleh. Harus bisa mengatur semua keperluan pasukan perang, seperti menyediakan makan. Lalu yang memberikan makan adalah istri, anak dari orang yang menjadi pemimpin perang," ulasnya.

Lebih lagi, seorang panglima perang harus orang pemberani, mampu memberi semangat dan bisa mensiasati perang dengan baik selama perang berlangsung.

Lalu, apa peran kepala suku suatu kelompok masyarakat? Di sini, kata Markus Timang, seorang kepala suku hanya bertugas sebagai penggerak massa. Dengan adanya pemimpin perang, panglima perang dan kepala suku tersebut, maka perang adat itu tidak bisa dilakukan sembarangan. Dalam perang adat, kaum perempuan dan anak-anak tidak dilibatkan.

Karena tidak dilibatkan, kaum perempuan dan anak tidak boleh berjalan sembarangan, sebab ditakutkan akan menjadi korban. Kaum perempuan bertugas mencari, memasak dan menyediakan makanan untuk kaum laki-laki yang sedang berperang. Waktunya makan, kaum perempuan harus mengantarkan makanan kepada para laki-laki yang perang di depan.

Tapi, kaum perempuan juga bisa bertugas untuk menyelidiki keadaan keamanan di wilayah tertentu yang akan dijadikan tempat untuk buang air kecil atau air besar oleh para laki-laki yang berperang. Apabila oleh perempuan sudah dinyatakan aman, di tempat tersebut tentara yang hendak membuang hajat tersebut diberikan ijin.

Salah satu sumber mengatakan, untuk Suku Amungme, perempuan juga bisa dijadikan sebagai mediator untuk menyampaikan informasi untuk damai dari kedua belah pihak yang berperang. Namun saat datang ke tempat musuh, perempuan yang menyampaikan informasi tersebut harus memiliki mimik marah dan tidak mau pegang tangan (jabat tangan).

Kemudian, tata aturan lainnya adalah kaum perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh. Orang lain yang tidak boleh dibunuh adalah orang yang sudah tua dan petugas kesehatan.

1 komentar: