Demikian benang merah persoalan industri wisata Bali dari diskusi terbatas Kompas Biro Nusa Tenggara di Denpasar, Bali, 21 Maret, dan sejumlah informasi yang dihimpun dari sejumlah lokasi subak di Bali.
Diskusi bertema ”Harmoni Pariwisata–Pertanian Berbasis Subak” itu melibatkan panelis Nyoman Sutawan (peneliti/pakar subak), Nyoman Norken (pakar sumber daya air dari Fakultas Teknik Universitas Udayana), Kepala Dinas Pariwisata Bali Gede Nurjaya, Bagus Sudibya (pelaku pariwisata), dan Ketut Suamba MP (petani, tokoh Subak Lodtunduh, Ubud). Diskusi dipandu Wayan Windia (pakar subak dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana).
Para panelis mengakui, Bali memiliki peninggalan budaya unik subak, sebuah lembaga pengolahan sawah secara tradisional yang bertali-temali dengan tradisi serta ritual keagamaan.
Namun, keberadaan subak beserta ritualnya kini terganggu. Gangguan itu berupa penggerusan lahan subak yang beralih fungsi menjadi hotel, homestay, dan akomodasi industri wisata.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Bali, Senin, areal sawah di Bali tahun 2005 seluas 81.210 hektar (ha). Tahun berikutnya (2006) berkurang menjadi 80.997 ha, tetapi naik lagi menjadi 81.144 ha tahun 2007 dari pencetakan sawah baru. Keseluruhan areal sawah itu dikelola 1.646 subak.
Sedangkan berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bali tahun 2000, Bali hingga tahun 1999 memiliki areal sawah 87.850 ha. Ini berarti sawah di Bali tiap tahun menyusut sekitar 750 ha.
Khusus di Denpasar tercatat dua subak yang semua lahan sawahnya telah punah tahun 1960-an dan 1980-an. Satu di antaranya adalah Subak Kereneng di Desa Adat Pagan. Sawah subak sekitar 70 hektar hingga 1960-an semuanya berubah fungsi menjadi Gedung Olahraga Ngurah Rai, perkantoran Bank Indonesia, sejumlah kantor pemerintah provinsi, DPRD Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Pasar Kereneng, dan lainnya. Yang tersisa sebuah pura, dengan nama berubah dari Ulunsui (pura khusus subak) menjadi Taman Sari (pura jagat untuk umum).
Sutawan dan Windia menguraikan, adat dan ritual keagamaan di lingkungan subak tetap terselenggara normal sejauh masih memiliki tiga elemen dasar, yaitu lahan sawah, ketersediaan air, dan pura. Saat ini makin banyak pemilik sawah yang bukan berasal dari komunitas adat setempat dan sawah yang dikonversi.
”Odalan di Pura Subak membutuhkan keterlibatan sedikitnya 150 anggota subak selama seminggu. Anggota subak tentu saja harus terlibat dalam upacara itu,” kata I Made Rudin (42), Ketua Subak Gede Sukawati.
Subak Gede Sukawati di Gianyar, sekitar 15 kilometer timur Denpasar, hingga 5-6 tahun lalu masih didukung areal sawah seluas 800 ha. ”Saat ini areal sawahnya tinggal 650-an ha. Sebanyak 150 ha lahan sudah berubah menjadi toko, vila, perumahan, dan lainnya,” tuturnya. Ia juga melihat, sebagian kecil pemilik sawah Subak Gede Sukawati kini bukan pendukung tradisi masyarakat setempat.
Di pihak lain, pertumbuhan jumlah hotel di Bali tidak tercatat lagi. Penyebabnya, pemerintah kabupaten mengejar pendapatan asli daerah, sejalan dengan era otonomi yang marak. ”Sebagai Kepala Dinas Pariwisata Bali, secara jujur saya mengaku tidak tahu lagi persis jumlah hotel. Mereka tidak melapor lagi,” kata Gede Nurjaya.
Nurjaya mengutip konsultan pariwisata asal Perancis, Sceto, yang tahun 1971 telah merekomendasikan kamar hotel berbintang di Bali cukup 24.000 kamar. Namun, saat ini diperkirakan jumlahnya 50.000 kamar, dua kali lipat di atas ambang batas. Akibatnya, harga kamar jatuh.
Data Bali Dalam Angka (2008) menunjukkan, Bali hingga tahun 2007 memiliki 145 hotel berbintang berkapasitas 18.945 kamar. Hotel itu terbanyak berada di Badung (87), Denpasar (24), Gianyar (14), Buleleng (10), dan Karangasem (6). Empat lainnya masing-masing 2 di Tabanan dan Klungkung. Dua kabupaten lainnya, Bangli dan Jembrana, belum memiliki hotel berbintang.
Pengambil kebijakan di Bali tahun 1970-an telah menetapkan arah perkembangan pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya. Namun, dalam perjalanannya, industri wisata Bali dinilai kebablasan karena semua hal mau dimasukkan ke Bali.
Para panelis menilai, kehadiran obyek wisata seperti Taman Safari Bali dengan satwa gajah, harimau, dan lainnya, demikian pula lapangan golf berkelas dunia, sebenarnya justru membuat Bali kehilangan keunikan. ”Kalau mau lihat gajah, seharusnya ke Sumatera saja,” kata Sutawan.
Taman Safari di Gianyar dibuka pada Oktober 2007, dibangun sebagai obyek wisata alam dengan koleksi 400 satwa langka dari 80 spesies dalam areal 40 ha. Bahkan, jumlah gajah yang mencapai 30 ekor menjadi masalah.
Manajer Pemasaran Bali Marine Safari Park (BMSP) Rei Satria, secara terpisah, mengatakan, pemindahan semua gajah dari Jawa ke BMSP telah memenuhi ketentuan dinas peternakan dan balai konservasi sumber daya alam setempat. Ia menjamin tidak ada masalah dengan ketersediaan pakan karena melibatkan desa adat untuk memasok pakan.
Masalah serius lain adalah kekeringan areal sawah Subak Lodtunduh dan Subak Bija di Ubud, Gianyar, karena Sungai Ayung ditutup dan airnya dialihkan untuk olahraga arung jeram oleh Mega Rafting dan usaha sejenis lainnya. Padahal, Bendungan Kedewatan adalah sumber irigasi bagi 33 unit subak yang meliputi areal sawah 3.300 ha. Inilah masalah yang dikeluhkan Ketut Suamba dan warga Desa Lodtunduh pemilik subak.
Liburan ke Bali tidak selalu menghabiskan biaya banyak. Beberapa penerbangan domestik Indonesia menawarkan harga tiket murah untuk periode tertentu. Selain itu banyak hotel di Bali memberikan harga khusus kepada wisatawan Indonesia dalam Rupiah. Beragam pilihan Bali hotel serta Bali
BalasHapusvillas dapat ditemukan online.